Mahasiswa Bidikmisi Bukan Sasaran Kekang
BSukma-Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan telah beritikad baik untuk
mewujudkan pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara. Misalnya,
melalui program Bidikmisi untuk menjaring para mahasiswa kurang mampu
agar bisa mengakses pendidikan tinggi di kampus-kampus negeri. Sebagai
mahasiswa, nantinya para mahasiswa dari program ini pun berhak memiliki
akses yang sama dengan para mahasiswa lainnya. Artinya, walau secara
sistem pembayaran biaya kuliah para mahasiswa berbeda, namun dalam hal
memperoleh hak berpendidikan tetap sama. Hak berpendidikan itu bisa
diwujudkan melalui kegiatan akademik (perkuliahan) dan non-akademik.
Kegiatan non-akademik bisa diwujudkan melalui kegiatan di luar
perkuliahan yang masih dalam naungan kampus seperti mengikuti
organisasi-organisasi intra kampus. Berkegiatan dengan cara mengikuti
organisasi intra kampus merupakan hak bagi setiap mahasiswa. Tidak ada
pihak manapun yang punya kuasa untuk melarang atau memaksa hak-hak
berkegiatan mahasiswa, sekalipun itu dari birokrat kampus. Apalagi
sebagai warga negara ini, kebebasan para mahasiswa untuk berorganisasi
dan beraspirasi sudah dijamin dengan Pasal 28 UUD 1945. Maka, aktif
mengikuti kegiatan organisasi intra kampus sekaligus menjadikan
organisasi sebagai wadah penyalur pendapat kepada birokrat kampus
merupakan hal yang sah secara hukum.
Tidak diperbolehkan adanya dalih bahwa para mahasiswa Bidikmisi
dibatasi mengikuti kegiatan intra kampus hanya karena mereka mendapat
beasiswa. Apalagi jika nalar kritis mereka dikekang untuk sekedar
mengkritik jika ada ketidakbecusan kerja dari birokrasi kampusnya.
Apabila kampus-kampus negeri masih menerapkan cara demikian, berarti ada
paradigma yang salah kaprah dari para birokrat kampus memandang
mahasiswa Bidikmisi. Birokrat kampus yang masih melabeli mahasiswa
Bidikmisi sebagai mahasiswa yang seharusnya menjadi “penurut” karena
mereka tak mampu membiayai kuliah, bisa dikatakan bahwa birokrat seperti
ini tipikal birokrat tak patuh hukum. Karena sekali lagi, kebebasan
berkegiatan setiap mahasiswa dijamin oleh undang-undang.
***
Sempat mendengar kabar dari Jember, bahwa seorang mahasiswi Fakultas
Sastra Universitas Jember (FS-UJ) mendapat cibiran langsung dari seorang
birokrat kampus gegara ia mengikuti lembaga pers mahasiswa (persma)
yang kerap mengkritik kinerja dekanat. Adalah Rosy Dewi Arianti Saptoyo,
seorang pegiat Lembaga Pers Mahasiswa Sastra (LPMS) Ideas. Kala itu,
pada Rabu, 1 Oktober 2014, sekira pukul 14.30, Rosy berniat menemui
Wisasongko, Pembantu Dekan (PD) III FS-UJ. Adapun maksud kedatangannya
kepada Wisasongko ialah mengajukan proposal dana penerbitan Partikelir,
buletin produk LPMS Ideas. Namun yang terjadi bukanlah pembicaraan atau
negosiasi terkait pendanaan. Malah Wisasongko cenderung mempersoalkan
pemberitaan pada Partikelir yang bertajuk “Mafia Dana Praktikum
Mahasiswa”. Terlebih lagi, yang membuat Rosy merasa tersinggung ialah
ketika Wisasongko mempermasalahkan kegiatan Rosy bersama LPMS Ideas.
Berikut sebagian kutipan percakapan antara Rosy dengan Wisasongko dalam
berita “Kronologi Ancaman dan Intimidasi PD III Fakultas Sastra Terhadap
Reporter LPMS Ideas” dikutip dari laman Persmaideas.com
“Kamu di LPMS Ideas sebagai apa?” tanya Wisasongko.
“Anggota, Pak. Baru diangkat beberapa hari lalu,” jawab Rosy.
Setelah itu Wisasongko mengajukan beberapa pertanyaan pada Rosy terkait identitas Rosy.
“Nama kamu siapa?” tanya Wisasongko.
“Rosy,”
Kemudian ia mengajukan pertanyaan berikutnya, “Jurusan?”
“Sastra Indonesia,”
“Kamu dapat beasiswa?”
“Iya, Pak.”
“Apa?”
“Bidik Misi”
“Orang tuamu kerja apa?”
“Bapak saya Pendeta, ibu saya guru SLB,”
“Kamu itu lho mahasiswa Bidik Misi. Kamu kuliah dibiayai siapa? Pemerintah kan? Kok malah memberitakan yang seperti ini?”
Setelah tahu bahwa Rosy adalah mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi,
Wisasongko memberikan nasehat kepada Rosy. Berdasarkan keterangan Rosy,
Wisasongko sempat menjelaskan bahwa mahasiswa penerima beasiswa
Bidikmisi sudah dianggap sebagai anak oleh Wisasongko. Karena itu
Wisasongko tidak mengharapkan bila mahasiswanya melakukan
kegiatan-kegiatan yang negatif.
“Kalau kamu tidak dapat beasiswa dari pemerintah, kamu mau apa? Kamu masih bisa kuliah?”
“Enggak,” jawab Rosy sambil mulai menitikan air mata.
“Makanya, kamu itu miskin, gak usah macam-macam. Jangan dikira saya orang baru dalam bidang jurnalistik. Saya suka menulis, tulisan-tulisan saya banyak.”
Rosy mendengarkan.
“Kamu itu bisa menulis gak?”
Menurut kesaksian Rosy, Wisasongko mengancam akan memberhentikan pencairan dana Bidik Misi kepada Rosy.
“Kamu mau beasiswa saya bekukan? Nama kamu Rosy kan, jurusan Sastra Indonesia, saya bisa tulis dan saya laporkan. Jangan kira saya tidak bisa. Kamu itu Bidikmisi, gak usah macam-macam,” ungkap Wisasongko sambil memperagakan bagaimana ia akan menulis menggunakan penanya.
Karena mulai merasa takut, Rosy hanya bisa diam dan menganggukan kepala.
Begitulah kronologi yang terjadi terhadap Rosy. Hanya karena Rosy
merupakan mahasiswa Bidikmisi, Wisasongko pun berupaya menekan kebebasan
beraktivitas Rosy bersama LPMS Ideas. Dalam percakapan tersebut
jelas-jelas bahwa Wisasongko mengancam memberhentikan beasiswa Rosy jika
ia masih mengikuti kegiatan persma yang sarat kritik tersebut.
Ketidaksukaan Wisasongko terhadap daya kritis persma tidak bisa
dibenarkan dengan cara mengancam Rosy. Jika memang pemberitaan dari
produk LPMS Ideas kurang berkenan bagi Wisasongko, seharusnya dia,
sebagai pejabat akademik, sadar akan mekanisme hak jawab yang benar
untuk menyanggah pemberitaan. Perlakuan Wisasongko tersebut tidak sesuai
dengan etika kaum intelektual kampus. Apalagi menggunakan kuasa
jabatannya untuk mencabut beasiswa Bidikmisi seorang mahasiswa merupakan
bertentangan dengan UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 16 bahwa dosen tidak boleh melakukan
tindakan diskriminatif terhadap mahasiswanya.
***
Sungguh sangat ironis jika masih terdengar kabar bahwa mahasiswa
Bidikmisi dikekang akses berkegiatan dan berpendapatnya. Alasan bahwa
mereka dibantu pihak kampus untuk memperoleh biaya pendidikan, bukanlah
sebab masuk akal untuk mengekang ruang gerak mereka. Kampus negeri
hanyalah lembaga kepanjangan tangan pemerintah untuk membantu warga
kurang mampu demi mengakses pendidikan.
Sama seperti mahasiswa lainnya, para mahasiswa Bidikmisi juga
memiliki potensi untuk membangun kehidupan intelektual kampus, secara
kritis sekalipun. Pembungkaman pihak birokrat kampus terhadap mahasiswa
Bidikmisi merupakan bentuk arogansi birokrat yang seolah-olah merasa
sebagai “dewa penolong” bagi mereka. Tapi bentuk pertolongan dengan
kekang di baliknya sama saja wujud penjajahan terhadap hak berpendidikan
warga negara.
Jika kemudian hari masih ada kasus-kasus yang menimpa para mahasiswa
Bidikmisi terkait pengekangan berorganisasi dan beraspirasi, cara
terbaiknya ialah segera menghubungi lembaga-lembaga mahasiswa di bidang
keadvokasian semacam BEM atau persma. Tak hanya itu, dalam proses
advokasi perlu juga menyertakan draf tuntutan (gugatan) yang dilampiri
produk-produk hukum. Hal ini agar birokrat kampus yang arogan tak lagi
semena-mena terhadap para mahasiswa Bidikmisi. Memang hukum bisa membuat
para pelanggarnya menjadi jera, maka sudah saatnya mahasiswa Bidikmisi
membuat para penindasnya menjadi jera melalui jeratan hukum. Dalam
rangka mewujudkan kebebasan kegiatan mahasiswa di kampus, hal itu perlu. (ekspresionline.com/ Taufik Nurhidayat)
Posting Komentar untuk "Mahasiswa Bidikmisi Bukan Sasaran Kekang"