Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PUISI-PUISI IBRAMSYAH AMANDIT DALAM BADAI GURUN*



Oleh: Hajriansyah

 Di Indonesia, pada tahun 1980/1990-an, terjadi suatu kecenderungan sufistik dalam puisi-puisi para penyair di Yogyakarta, Jakarta, Bandung, hingga Banjarmasin. Di antaranya yang memiliki kecenderungan sufistik tersebut adalah, Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, Ahmadun Y. Herfanda, Mustofa Bisri, Ajamuddin Tifani, dan seterusnya. Di antara nama-nama ini, yang belum banyak dibicarakan secara nasional, yang karya-karya puisinya juga memiliki kecenderungan sufistik adalah Ibramsyah Amandit. Meski demikian, di dunia kepenyairan Kalimantan Selatan nama Ibramsyah sudah sangat masyhur, dan sangat dikenal sebagai penyair sufi yang konsisten dalam penulisan puisi-puisi sufistik, bahkan sejak awal kepenyairannya di tahun ‘70/’80-an. 

Kumpulan puisi Badai Gurun (panjangnya Badai Gurun dalam Darah) merupakan buku pertama Ibramsyah Amandit. Buku ini menghimpun puisi-puisi yang ditulis sejak tahun 1973 hingga 2008, total ada 97 buah puisi. Dari keseluruhan jumlah puisi, mengingat bahwa setiap puisi diberi titimangsa (tempat dan tahun penulisan), penulis membaginya ke dalam dua periode. Periode pertama terhitung sejak puisi “Milik” (1973) sampai dengan puisi “Tanya, 2” (1982), sedangkan periode kedua terhitung dari puisi “Puisi Kasih” (1993) sampai dengan puisi “Petir Terbuang” (2006/2008). 

Periodesasi ini dibuat berdasarkan pengakuan Ibramsyah bahwa sejak menyimak (mendalami) ajaran tasawuf, seperti disebutkan di bagian profil penyair, ia berhenti menulis puisi. Dari pengakuan ini, tampaknya Ibramsyah ingin menyatakan bahwa selama masa pengembaraan spiritualnya itu ia benar-benar total dalam “mempelajari” tasawuf.

Melihat catatan waktu (titimangsa) pada setiap puisi dalam buku Badai Gurun, puisi “Tanya, 2” (halaman 31) merupakan puisi terakhir sebelum mulai dengan serius menyimak ilmu tasawuf, lalu disambung halaman berikutnya dengan “Puisi Kasih” (halaman 32) yang merupakan puisi pertama setelah masa pengembaraan spiritual. Puisi berikutnya pada halaman 33 yang berjudul “Yogya” tampaknya merupakan kecolongan dari pihak editor, karena catatan titimangsanya ditulis “Tamban, Maret 1973”.  Periode pertama berisi 29 puisi, sedangkan pada periode kedua ada 68 puisi.

Dengan pembagian dua periodesasi ini bukan berarti puisi-puisi Ibramsyah sebelum “khalwat”nya tidak bernuansa sufistik semuanya, bahkan hampir keseluruhan puisinya sejak puisi “Milik” sudah dipenuhi idiom-idiom sufistik dan ketuhanan. Idiom itu misalnya terdapat dalam susunan kalimat berikut: “Tuhan bersandar/ sebelah dalam pagar/ di halaman” (puisi “Milik”, 1973), “dari nikmat yang tiada mendekat/ dari hakikat yang tiada makrifat” (puisi “Lingkungan”, 1973), “Pada segenap pinggiran pesiar-Mu/ makin daku menggila. Makin bahagia!” (puisi “Berdoa”, 1973), “dengan mesranya menghantar bau mawar/ di gerbang kelambu...” (puisi “Rumah”, 1975), “Duhai, pewaris Nabi, sunnatullah berlaku;/ - musibah bagi yang kehilangan kunci dunia/ atau bagi sekadar fasih baca doa-doa!” (puisi “Ulama”, 1979), “Duhai, Waliullah, duhai orang suci; ke mana saja Tuan dalam kubur” (puisi “Mengimbau Wali Syekh Abdul Qadir Jailani”, 1980), dan lain-lain.

Ungkapan-ungkapan di atas selain menyebut kata “Tuhan” secara terang (eksplisit), juga memiliki ekspresi ganda yang memiliki muatan makna simbolik. “Pagar” dan “halaman”, misalnya, tidak sekadar dimaksudkan sebagaimana adanya ketika ia menjadi rangkaian dari frasa “Tuhan bersandar” sebelumnya. Ada kesadaran lain yang tidak sekadar merepresentasikan kenyataan apa adanya. Hal ini seiring dengan apa yang dikemukakan Schimmel, terkait puisi mistik Persia, bahwa makna ganda itu memang disengaja, bergoyang-goyang antara dua tingkat keberadaan yang memang dengan sadar dipertahankan. Lirik-lirik semacam ini tidak akan memperoleh pesonanya yang khas tanpa teori-teori sufi, karena teori-teori inilah yang melatarbelakangi berkembangnya puisi-puisi ini. Ketegangan antara keduniawian dan penafsiran keagamaan dipecahkan dalam puisi-puisi yang demikian (Annemarie Schimmel 2000: 366).
 Diksi Tuhan sebagai kata yang mewakili Allah dalam puisi-puisi Ibramsyah, menurut Sainul Hermawan (2011: 90), tampaknya lebih nyaman digunakan penyair. 

Dalam kumpulan Badai Gurun kata Tuhan disebut lebih banyak (sebanyak 52 kali, belum termasuk turunannya seperti –Mu dan –Nya) dibandingkan kata Allah yang hanya 9 kali. Ini dikarenakan penyair merasa berhadapan dengan Yang Aktif, yang berpaling kepada makhluk ciptaan, sedangkan menyebut Allah terasa berat baginya. Penyair merasa ada “kabut” kerahasiaan yang sakral, yang kudus dan tak tergapai. Kata itulah yang sering membuatnya tergila-gila [mabuk/sakr], menahan jerit dengan air mata berderai. Dengan lebih banyak diksi Tuhan (bukan Allah) penyair menunda untuk dilanda momen “keallahan” agar ia tak “ditaklukkan” sepenuhnya [baqa’] oleh the divine power.
 Berkaitan dengan pernyataan di atas, sastra sufi pada umumnya mengungkapkan tahapan-tahapan (maqâm, jamak maqâmat) dan keadaan-keadaan jiwa atau rohani (hâl, jamak ahwâl) yang menjadi pengalaman batin para sufi dalam menempuh sulûk (jalan kerohanian). 

Jalan kerohanian dalam ilmu tasawuf dikembangkan dengan tujuan membawa seorang salik (pejalan rohani) menuju pencerahan batin atau persatuan rahasia dengan Yang Satu, yang menjelaskan bahwa landasan tasawuf itu pada dasarnya ialah tauhid. Apabila kalbu (hati) seseorang telah tercerahkan, maka ia berpeluang mendapatkan (maqâm) fana’ (persatuan rahasia dengan Yang Satu atau Yang Hakiki), dan selanjutnya jika berterusan akan mendapatkan pengalaman kembalinya jiwa ke dalam suasana baqa’ (kekal). Ini tidak berarti seorang salik yang faqir (tidak memiliki dan mengharapkan apa-apa kecuali Allah) tidak mempunyai perhatian kepada yang selain Dia—alam sekitar, dunia dan sesamanya—tetapi semua itu dilihat dengan mata hati yang terpaut kepada Dia semata (Abdul Hadi W.M. 2004: 137).

FAKIR

Jangan ikuti aku
yang tak punya rumus
atribut dan kepangkatan
karena jalanku kuburan adat
mematah kebiasaan

Aku hidup di tangan anugerah
hatiku angin Sulaiman
yang membaca keadaan
juga aku tongkat Daud
yang kau lihat kerajaannya bertahan
padahal tongkat ditopang mayat

Bila telapak tangan membalik
di situ lahanku
gerak rodaku tanpa daya
karena makan disuapi Tuhan

Bila beduk surau berbunyi
atau lonceng gereja
jemaat buru-buru pergi
aku tak ke mana
karena dahiku di gerbang-Nya

Ketika fajar
orang-orang berebut pasar
mengapa si fakir harus bangkit
bila celenganku di pintu langit

Tamban, 16 Juni 2006

 Abdul Hadi sendiri dalam pengantar Badai Gurun menyebutkan bahwa tema puisi-puisi Ibramsyah dalam kumpulan ini beragam, mulai dari cinta, kesepian, soal rumah tangga, keagamaan, bahkan termasuk kritik sosial. Ini juga dapat menjelaskan tentang salah satu ciri penting yang melekat pada karya-karya penyair mistik atau sufistik, yaitu ungkapan-ungkapan yang mengandung paradoks. Seperti dikatakan Hadi (2001), melalui paradoks penyair menyindir orang-orang yang mencari keindahan dan kebenaran keluar jauh dari kebenaran Ilahi itu sendiri. Dalam konteks inilah kegeraman Ibramsyah dapat dipahami:

Syahdan, dari riwayat terpercaya
Muhammad menyerahkan warisan
kepada ulama. Sungguh, kepada ulama!

Semenjak itu ulama iman Nabi
semenjak itu ulama akal Nabi
semenjak itu ulama budi Nabi
semenjak itu ulama-umara, panglima, ahli agama iman Nabi

...

Duhai pewaris Nabi, sunnatullah berlaku:
       —musibah bagi yang kehilangan kunci dunia
       atau bagi sekadar fasih baca doa-doa!

Lebih jauh menurut Soebely (dalam epilog buku), kendati puisi-puisi Ibramsyah dekat dengan persoalan tradisi dengan penghayatan sebagai “orang desa”, tidak berarti ia tak mampu menjangkau gejolak universal. Ibramsyah, dalam hal ini misalnya, menangkap kehidupan mekanistis dari para pekerja pada perusahaan perkayuan dalam puisi “Jelapat” (2004), sisi lain kematian Kusni Kasdut di depan regu tembak dalam puisi “Makam Kusni Kasdut” (1980), bahkan ceceran darah dan cucuran air mata hingga ihwal pergantian Presiden Amerika Serikat serta perpektif politiknya dalam puisi “Bosnia” (1993) dan “Panen”(1993).
Dalam konteks demikian di atas, penyair Micky Hidayat (dalam pengantar buku, hal. 133) mengomentari kepenyairan Ibramsyah:

Mencermati puisi-puisi religi Ibramsyah Amandit dalam Badai Gurun dalam Darah ini, telah memberikan kesegaran yang lain bagi batin saya. Kesan yang menarik tidak hanya dalam hal kemampuan penyair menyuguhkan imaji atau pengucapan eksotik yang merangsang daya tanggap, baik secara visual maupun auditif, tetapi terutama dalam kecenderungan tematis (religius) yang muncul sebagai bangunan dunia puitik itu sendiri, sehingga puisi-puisinya mampu menciptakan kesadaran penuh makna dari kehidupan.

Sebagaimana dalam konteksnya yang lebih luas, puisi para sufi tidak hanya menyajikan masalah yang bersifat esoterik. Hal ini misalnya, menurut Abdul Hadi, dapat dilihat dalam karya Sa’di (penyair Persia abad ke-13). Dalam karyanya Bustan dan Gulistan, Sa’di menyuarakan masalah sosial, politik dan pemerintahan dalam kaitannya dengan moralitas dan spiritualitas. Lebih jauh para penulis sufi tidak hanya lazim menyampaikan kritik sosialnya secara halus, namun juga tajam dan menukik hingga inti permasalahan—seperti juga pada karya-karya Jalaluddin Rumi. Bahkan dalam konteks modern, sufisme tidak hanya berurusan dengan masalah spiritual semata, seperti sering dituduhkan oleh para pembaharu dan kalangan sekuler. Pandangan yang lebih positif memperlihatkan bahwa sufisme dapat melawan keterasingan dan hilangnya kesadaran spiritual sebagai ciri kehidupan urban modern masyarakat perkotaan (Abdul Hadi W.M. 1999; Aprinus Salam 2004).

Demikian beberapa catatan singkat mengenai puisi-puisi Ibramsyah dalam kumpulan Badai Gurun, dan keterkaitannya dengan sufisme. Puisi-puisinya tidak hanya merefleksikan kesadaran kosmologis dan ketuhanan, namun juga merepresentasikan simbol-simbol yang merupakan bagian dari khazanah tradisi puisi sufistik. Selain simbol-simbol yang bersifat umum, ia juga menggunakan beberapa tamsil (simbol) yang bersifat lokal maupun khas pribadinya. 

*Tulisan ini merupakan bagian dari tulisan saya sebelumnya yang pernah dimuat dalam jurnal di UIN Antasari dengan judul “Puisi-puisi Sufistik Penyair Ibramsyah Amandit: Tinjauan Estetika Sufi”.

Posting Komentar untuk "PUISI-PUISI IBRAMSYAH AMANDIT DALAM BADAI GURUN*"