Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sistem Perwakilan, Solusi Alternatif atau Kemunduran Demokrasi Kampus?

Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) yang diwacanakan akan berlangsung pada Februari mendatang, kini jadi bahan perbincangan hangat di kalangan mahasiswa. Pasalnya, baru-baru ini terdengar wacana perubahan sistem Pemilwa yang akan dilaksanakan melalui sistem perwakilan. 


Lahirnya wacana yang bersumber dari SK Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Nomor 4961 tahun 2016 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, menuai berbagai reaksi dari kalangan mahasiswa. 


Ketua Senat Mahasiswa (SEMA) Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin, Husin Ali mengatakan, pihaknya menolak sistem perwakilan di Pemilwa. Hal ini berdasarkan hasil studi banding sejak Rabu, (08/12) dengan beberapa kampus di pulau Jawa. 

"Selama empat hari melakukan studi banding, kami mendapatkan beberapa data, namun masih belum bisa disebarkan. Bahwasanya kami SEMA se-UIN, menolak sistem perwakilan berdasarkan data-data hasil studi banding, bukan berdasarkan penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa. Data yang kami dapatkan bersifat objektif, karena jika kita hanya mengandalkan suara mahasiswa dari semua fakultas, tak akan digubris oleh rektor,” kecamnya. 


Meski sistem Pemilwa perwakilan sudah diatur dalam SK Dirjen, namun menurutnya hal tersebut masih memiliki beberapa kelemahan.

“Analisis saya pribadi menemukan beberapa kelemahan di SK Dirjen itu sendiri dan kelemahan itu membuat kami mempunyai harapan bisa mempertahankan sistem Pemilwa seperti tahun lalu," tegasnya. 


Salah satu permasalahan yang ditemui, beberapa kampus yang mengadopsi sistem perwakilan hanya melaksanakannya di tingkat universitas, sedangkan di fakultas tetap melaksanakan pemilihan dengan sistem Pemilwa langsung.

"Mereka melakukan sistem perwakilan hanya di tingkat universitas, sedangkan di fakultas tetap Pemilwa langsung, terlihat jelas tidak ada koordinasi antara universitas dan fakultas,” ungkapnya.


Berdasarkan pemaparan Husin, status  SEMA di UIN Antasari sedikit berbeda. Apabila SEMA-U memilih sebuah sistem, maka fakultas juga harus mengikuti regulasi tersebut.

"Hasil studi banding itu mayoritas sistem perwakilannya tidak memiliki kelebihan sama sekali, melainkan kekurangan di banding sistem Pemilwa yang kita pakai. Poin terpenting bahwa kita punya server untuk melakukan E-Voting, yang tidak dimiliki kampus lain. Hanya beberapa kampus seperti Jakarta," pungkasnya


Senada dengan SEMA-U, Ilham selaku Ketua Umum Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Antasari Banjarmasin, menyatakan dua poin penting kenapa pihaknya menolak sistem perwakilan ini.

"Dari kami juga sepakat DEMA-U dan DEMA Fakultas untuk menolak sistem perwakilan ini. Karena, perihal keterwakilan ini memang sudah dimuat di SK Dirjen tapi kemudian ada beberapa hal yang kami kritisi. Yang pertama, kesiapan. Karena ini adalah perubahan sistem terkait Pemilwa yang sebelumnya, belum pernah  kita laksanakan. Yang kedua, perihal demokrasi, kalau kita berkaca demokrasi negara kita. Kita menggunakan pemilu secara langsung," ungkapnya saat diwawancarai secara langsung di gedung PSB. 


Lanjutnya, Ilham menyampaikan permasalahan dari pihak rektor adalah untuk menghindari konflik yang menjadi rutinitas tahunan. Namun, menurutnya sistem keterwakilan nanti juga akan bisa menimbulkan konflik yang sangat besar.

"Kalau perihal keterwakilan, ini akan menimbulkan konflik yang besar karena sistemnya adalah perwakilan dari setiap jurusan ke jurusan. Permasalahan dari pihak rektorat adalah untuk menghindari konflik yang sudah ada sebelumnya," tambahnya. 


Menurut Ketua Umum DEMA periode 2021/2022, konflik Pemilwa bukan dari sistemnya namun dari kesiapan para panitia.

“Kami berpandangan konflik ini, setiap tahun perihal kesiapan dari KPM-U nya, kalau kita menyiapkan dari awal tentang panitia penyelengaranya, InsyaAllah Pemilwa ini berjalan lancar. Jadi kami sepakat untuk menolak terkait keterwakilan ini. Akan kami adakan pertemuan dengan rektor dan pimpinan yang lain. Kalau misalkan tetap disetujui keterwakilan kami akan melakukan tahap selanjutnya, untuk memperjuangkan kembali DEMA se-UIN," tutupnya. 


Tanggapan dari SEMA-U dan DEMA-U berbanding terbalik dengan Irfan Noor, selaku Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama. Ia mengungkapkan tidak akan berpihak ke sistem manapun, karena dua sistem tersebut memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

"Aku berusaha netral, inikan antara kepentingan lembaga dengan mahasiswa. Kepentingan lembaga di sini ada negara, yang ada SK Dirjen memuat tentang pelaksanaan pemilu perwakilan,” ungkapnya. 


Pemimpin itu, ujar Irfan, merupakan bagian dari negara. Sehingga harus memegang tanggung jawab yang diamanatkan, salah satunya mewujudkan sistem Pemilwa yang diatur dalam SK Dirjen Pendis.

“Di satu sisi mahasiswa ini punya perspektif lain tentang keterewakilan mereka. Bukan masalah perwakilan, jadi keterwakilan mereka ini diasumsikan hanya bisa dipenuhi dengan pemilihan langsung tidak melalui pemilihan keterwakilan," ucapnya.


Menurutnya, baik Pemilwa langsung ataupun perwakilan keduanya telah memenuhi standar demokrasi.

“Jadi, jika itu ditarik ke persoalan demokrasi, padahal ini sama-sama demokrasi. Jadi sebenarnya mana yang lebih baik, langsung atau keterwakilan. Sebenarnya sama saja dua sistem tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan," jelasnya. 


Untuk membahas rancangan sistem Pemilwa, pria yang baru saja dilantik menjadi Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama ini membuka ruang kemungkinan apabila sistem Pemilwa dijalankan dengan sistem sebelumnya, dengan catatan tanpa adanya konflik dan kekerasan.

"Jadi kenapa SK Dirjen mengamanatkan tentang pemilu perwakilan, karena secara faktual dan objektif bahwa pemilu yang dilaksanakan sebelumnya itu menghasilkan kekacauan, konflik, kekerasan dan itu bukan hanya internal tapi mahasiswa juga," tandasnya. 


Irfan menilai kekuatan politisasi dalam ajang Pemilwa di kampus UIN Antasari masih begitu melekat, sehingga ia ingin ada perbaikan dalam hal tersebut.

"Jadi jangan lagi kampus menjadi ajang politik praktis, kampus ini kan lembaga pendidikan. Jika ada permasalahan, mari bersama kita perbaiki, dan tidak usah sama-sama keras. Intinya bagaimana kita bisa menjalankan pemilu mahasiswa yang damai tanpa kekerasan," tegasnya kembali.


Rep: Marsupilami & Jured

Editor: Lanjit

Posting Komentar untuk "Sistem Perwakilan, Solusi Alternatif atau Kemunduran Demokrasi Kampus? "