Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

REFLEKSI KESUKMAAN, JEJAK DAN GERILYA PENERUS



“Berjuang dengan pena. Bergerilya dengan wacana.”

Gema takbir berkumandang dimalam lebaran pada perayaan hari raya Idul Fitri 1441 Hijriah, tepat pukul 00.00 WITA terdengar suara kicauan dalam diri, menyebut sukma... sukmaa... sukmaaa, dan mengingat semboyan di atas adalah sejarah dalam membangun organisasi Lembaga Pers Mahasiswa Suara Kritis Mahasiswa (LPM Sukma), adalah gagasan yang relevan untuk memperjuangkan nilai dalam media alternatif ini. Jika menelisik makna yang terkandung, maka berjuang dengan pena adalah senjata dalam menyuarakan aspirasi mahasiswa melalui berita-berita yang disuguhkan. Berita itu tertuang dalam isu-isu yang diresahkan warga kampus atau pun masyarakat di sekitar. Sedangkan, makna bergrilya dengan wacana adalah upaya dalam menganalisis isu yang diangkat, dan menyajikan nilai jurnalisme secara tajam, komprehensif dan independen.

Memandang makna itu, esensinya LPM Sukma di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, adalah bagian ujung tombak mahasiswa dalam mengawal isu terhadap kemaslahatan di masyarakat. Mengenai perjuangan pers mahasiswa diera orde baru, mengingat perjalanan saya di Yogjakarta, menemui beberapa lpm yang cukup tua di zamannya. Jika diurutkan, ada seperti LPM Arena (UIN Sunan Kalijaga) yang berdiri sejak tahun 1975, LPM Balairung (UGM) tahun 1985 dan LPM Ekspresi (UNY) tahun 1989, mereka (lembaga, red) benar-benar terlahir sebagai media alternatif kala itu. Disaat media konvensional ditekan, dan dilarang mempublikasikan sebuah berita. Pers mahasiswalah mengawal perjuangan dan keresahan mahasiswa saat meruntuhkan rezim Soeharto.

Sukma Dipandang KPK Kampus Hijau
Diera reformasi atau meraih kebebasan berpendapat, LPM Sukma lahir sebagai nafas baru dalam mengawal segala isu yang terjadi. Berdiri sejak 24 Mei 1998, lembaga ditingkat Universitas ini telah banyak menyuarakan kebenaran dalam pemberitaannya. Sejak bergabung pada tahun 2015, saya mendengar, menyaksikan dan mengawal isu yang terjadi di UIN Antasari. Beberapa tahun sebelumnya, senior pernah bercerita bahwa sukma telah memberitakan beberapa aspek lingkungan, birokrasi dan politik mahasiswa. Diantaranya, berita tentang drainase yang mampet karena sampah dan setelah itu diperbaiki oleh birokrasi. Kemudian, sukma pernah memberitakan transparansi dana disalah satu fakultas dan membongkarnya dalam pemberitaaan yang cukup menggegerkan tersebut. Selain itu, sukma sering mengawasi para politikus mahasiswa yang kerap memainkan cara licik disaat pemilihan calon presiden mahasiswa.

Sukma pernah vakum, kemudian dibangun kembali pada tahun 2013 bersama senior Muhammad Firman dan Ahmad Saufi dengan 7 penerus yang lainnya. Ditahun itu, pimpinan umum disambut oleh Ahmad Fauzi beserta pengurus yakni Moh Mahfud, Syarif Hidayatullah, Muhammad Ali Furqon, Rizali Norhadi, Ali Makki dan Jaidatunnisa. Selama tujuh tahun itu, terekam semua langkah sukma di kampus hijau yang kini berubah nama menjadi kampus biru tersebut. Sukma telah menebar aroma sedap yang tercium oleh masyarakat kampus, entah menyengat dari aroma positif atau negatif. Pasalnya, LPM Sukma pernah dipandang sebagai KPK kampus. Selalu menyoroti hal-hal yang patut disuarakannya. Suara sukma adalah suara kebenaran yang harus diperjuangkan oleh penerus digenerasi saat ini.

Sukma kerap dipanggil oleh dekanat dan rektorat, sesekali berurusan dengan aktivitis mahasiswa yang bernaung diorganisasi eksternal. Pernah juga memberitakan perpustakaan, kantin, PSB dan Ma’had Al-Jamiah (asrama). Masih mengingat, sukma pernah juga memberitakan Majelis Orangtua Mahasiswa (MOM) yang kontroversi itu. Pada saat peliputan, usai wawancara beberapa kali reporter sukma mendapat kecaman dan permintaan untuk tidak memuat isi pemberitaan itu, “Nak, kami punya anak dan keluarga yang harus kami nafkahi. Mohon, jangan diangkat ya ke sukma,” tulisnya dalam pesan berbalas. Menjelang setahun, MOM berhasil ditutup.

Banyak perjalanan sukma yang terjal, baik mendapatkan kecaman maupun menaruh image yang buruk terhadap lembaga ini. Selain perjuangan itu, sukma telah banyak menelurkan bibit-bibit kesukmaan yang tersebar diberbagai daerah. Dan kini, beberapa alumni telah banyak berhasil ditanah perantauan maupun didaerahnya sendiri. Ada yang di Kemenag, Rumah Zakat, dosen dan bahkan jadi penulis pidato Gubernur Kalimantan Selatan.

Berproses Sejak Dalam Diskusi
Semua kesuksesan itu saya rasakan pula hasilnya, banyak berproses dari diskusi malam. Sisanya, belajar jurnalistik dari lapangan dan rapat redaksi yang dijalankan setiap senin sore. Bermula dari proses diskusi, menulis dan membaca apa yang harus dibaca, baik itu buku, lingkungan, kebudayaan, politik dan pendidikan. Saya diajarkan untuk peka, dan diajarkan untuk kritis terhadap diri sendiri. Dengan diskusi, saya membuka pandangan dan nalar dalam berpikir. 

Sejak semester tiga bergabung, semester selanjutnya saya cukup mudah mempresentasikan makalah dengan nalar yang diasah pada malam hari hingga menjelang subuh tersebut. Di semester lima dan enam, saya pernah dipuji teman selokal bahwa ada peningkatan dalam publik speaking –alam memaparkan sebuah ilmu pengetahuan, dan bahkan sesekali saya berdiri untuk menjelaskan yang tertera di slide power point tersebut. Karena apa? Menurut saya dan beberapa senior yang telah mengajarkan arti dalam proses belajar; banyak mahasiswa yang pasif, mengharapkan IPK tinggi tanpa proses belajar dengan baik, bangku kuliah sekadar ingin meraih ijazah dan ingin cepat bekerja. Semenjak masuk sukma, paradigma seperti ini mengubah mainset dalam berproses di kampus. 

Masih menjadi anggota penuh, saya sudah mendapat konsumsi pemikiran yang cukup keras dari salah satu senior berujar, “STOP MAKALAH” yang ditulisnya dalam majalah Sukmagazine. Ia menjelaskan bahwa menggarap makalah hanyalah membuang kertas, biaya cukup besar untuk memprint, dan jauh dari esensi belajar. Dari semua catatan yang ditulisnya, saya merefleksikan sebuah gambaran pendidikan saat itu, bahkan hingga kini. 

Tertuang dalam tulisan itu, adalah keresahan yang menjadi kegelisahan terhadap bangku kuliah yang monoton. Kuliah 2 SKS, hanya presentasi dengan membacakan teks yang tertera di PPT. Kemudian, makalah menjadi bahan untuk sekadar mengumpul tugas tanpa belajar menulis secara ilmiah. Hal inilah yang dikritis oleh senior Sukma, yang ditawarkannya solusi adalah meresum buku. Dengan meresum, kita membaca dan menulis. “Itu lebih baik daripada bikin makalah yang kemudian copy-paste, bila pun disuruh meresum dua sampai tiga buku tak masalah,” katanya.

Setelah itu pandangan hidup kian baru, membangun aktualisasi diri. Barangkali, mungkin jarang dilakukan mahasiswa pada umumnya. Diskusi larut malam, rapat di kampus hingga rumah ke rumah dan bepergian ke acara-acara lokal maupun Nasional, sukma telah banyak mewakili kegiatan diberbagai instansi pemerintahan seperti Balai Bahasa, BNPT, Dewan Pers, dsb. Pada tingkat Nasional, Sukma telah mewakili kegiatan PPMI diacara Kongres di Mataram (2014), Mukernas di Bali (2017), Kongres di Solo (2018), Reonas di Semarang (2019) dan Kongres di Madura (2020). 

Dari sinilah saya berangkat, berproses dan belajar banyak hal tentang kehidupan. Berkat sukma, saya diundang menjuri diberbagai kegiatan sastra maupun jurnalistik. Berkat sukma juga, saya dulunya introvert kini telah menjadi orang yang interpersonal skill-nya dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Dulunya insecure sekarang cukup mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi, berkarya dan berproses dalam dunia pekerjaan yang serba melaju keras.

Dulu, memakai baju PDH LPM Sukma cukup berpengaruh, elegan dan takut jika menggunakannya saat dibangku kuliah. Entah apa, baju PDH seperti sebuah beban seorang anggota sukma ketika membawanya. PDH digunakan cukup digunakan saat dilapangan, proses meliput dan menghadiri kegiatan tertentu. Mungkin saja waktu itu, sukma mempunyai taring yang kuat dikampus hijau dan terlebih dari berita-berita yang kontroversial dieranya. Apakah pengurus baru diperiode sekarang telah merawat “kekritisan” itu, semoga saja dihari ulang tahun ke dua puluh dua ini. Sukma tidak melepaskan esensi makna filosofis namanya sendiri dan menanamkan bibit keanggotan dalam memahami fungsi kesukmaan itu sendiri. Melalui diskusi, saya berharap sukma terus merawat dunia perdiskusian agar mengasah tajam berpikir dalam bersikap dan menuangkan sebuah berita. 

Salam Pers Mahasiswa!
Muhammad Rahim, demisioner Pimpinan Umum LPM Sukma, Periode 2018-2019.

Posting Komentar untuk "REFLEKSI KESUKMAAN, JEJAK DAN GERILYA PENERUS"