Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

POLITIK IDENTITAS TAK BOLEH MERAJALELA

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Di samping itu, Menurut Aristoteles dalam teori klasiknya, Ia berpendapat bahwa politik adalah usaha tempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Sumber Foto: artikula.id

Pada saat kita berbicara tentang politik, maka itu tidak lepas dari sosok rakyat dan sosok pemimpin dalam pemerintahan suatu negara. Rakyat merupakan penduduk suatu negara, dan pemimpin dalam hal ini adalah orang yang memimpin negara tersebut.

Pada hakikatnya manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, maka dari itu manusia membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, yang artinya manusia adalah makhluk yang berkelompok. Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai sifat yang tidak bisa hidup sendiri dan juga sebagai makhluk politik memiliki naluri untuk berkuasa.

Oleh karena itu manusia pasti membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ini adalah awal terbentuknya sebuah masyarakat, di mana setiap orang memiliki pikiran yang tidak sama atau berbeda antara satu dengan yang lain. Sehingga dalam berinteraksi mereka membutuhkan sebuah organisasi kekuasaan yakni negara untuk mempertahankan eksistensi dan saling bekerjasama.

Sebagai rakyat Indonesia, kita semua memiliki identitas nasional berdasarkan suku bangsa, agama, kebudayaan, dan bahasa. Di mana identitas ini yang nanti akan membedakan negara Indonesia dengan negara lain. Namun ada yang namanya identitas perorangan dan pada umumnya identitas ini berbentuk Kartu Tanda Penduduk (KTP). Menurut Stella Ting Toomey dalam buku Communication Between Cultures, identitas merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi.

Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Artinya identitas tidak hanya apa yang tertulis di dalam KTP, tetapi cerminan diri yang kita ekspor ke "luar" melalui sikap dan perbuatan sehari-hari. Sehingga ini juga menjadi identitas kita.

Contoh misalnya yang terjadi pada KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Beliau dikenal dengan kecerdasan dan kepintarannya. Ini merupakan salah satu ciri khas yang tidak bisa dilepaskan dari dirinya. Karena sejak kecil diketahui bahwa Gus Dur sangat menyukai buku-buku filsafat karangan pemikir- pemikir hebat. Sebuah penilaian seseorang pada diri orang lain pada akhirnya menjadi identitas orang tersebut di mata publik.

Dalam konteks apapun, penggolongan terhadap segala sesuatu itu bisa dilakukan, termasuk penggolongan identitas secara politik. Seperti yang ada di Indonesia, ada partai Demokrat, Golongan Karya (Golkar), dan lain sebagainya. Ini merupakan identifikasi manusia ke dalam golongan-golongan dalam bentuk partai politik.

Selain itu organisasi-organisasi mahasiswa yang berbasis Islam di Indonesia juga kerap kali digunakan menjadi atau sebagai identitas dalam berpolitik. Mengingat massa dari organisasi tersebut cukup besar, maka ini adalah jalur yang sangat potensial dalam menjalankan politik di Indonesia.

Politik Identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya mengangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik atau tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa.

Kemudian muncul sebuah argumen dari Setyaningrum (2005), dimana Ia menjelaskan bahwa ada perbedaan antara Identitas Politik dan Politik Identitas. Menurutnya, Identitas Politik (Political Identity) secara konseptual berbeda dengan Politik Identitas (Politica of Identity).

Identitas Politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan seseorang dalam suatu ikatan komunitas politik. Sedangkan Politik Identitas mengacu pada mekanisme politik dalam pengorganisasian identitas (baik identitas politik ataupun identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik.

Seiring berjalannya waktu, Politik Identitas rupanya masuk secara alami ke segala lapisan masyarakat di seluruh dunia, khususnya Indonesia. Politik Identitas sebenarnya tidak menjadi persoalan besar jika dilihat dari aspek kebudayaan; semua orang punya dan butuh identitas.

Namun, apabila digunakan secara berlebihan dan dengan tujuan yang tidak sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Frasa yang berasal dari bahasa Jawa Kuno ini berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Maka secara tidak langsung Politik Identitas melemahkan kebhinekaan dalam suatu peristiwa yang digunakan secara berlebihan.

Kemudian, momen-momen yang digunakan dalam Politik Identitas seringkali terjadi pada Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada), dan lain sebagainya yang merupakan pertarungan politik pasti. Karena setiap periodenya kita pasti memilih seorang pemimpin.

Peristiwa yang baru saja terjadi ialah saat Pilkada DKI Jakarta pada tahun lalu. Kehadiran Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab dipanggil Ahok sebagai calon kuat yang mempunyai latar belakang minoritas dari segi suku, ras, dan agama. Hal ini merupakan celah untuk Politik Identitas menggaungkan suaranya dalam perpolitikan Indonesia.

Alhasil, semakin besar Politik Identitas dijalankan maka itu bisa menjadi ancaman bagi eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sendiri dalam tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti yang diutarakan oleh pengamat sosial Imam Prasodjo, bahwa Politik Identitas menjadi cara ampuh untuk menjaring pemilih sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, strategi ini memiliki risiko yang tak kalah mengerikan. Menurutnya, Politik Identitas yang dikemukan secara berlebihan bisa memercikan api dan menyulut konflik.

Mengingat salah satu arti dari politik itu adalah upaya mempertahankan kekuasaan, sehingga saat ada Politik Identitas maka yang terjadi adalah masing-masing “Identitas” yang berkuasa akan berusaha mempertahankan kekuasaannya dan mengurangi hak “Identitas” yang lain atas kekuasaan tersebut.

Lalu, apakah kita sebagai rakyat Indonesia rela mengorbankan kebhinekaan yang sejak dulu sudah menjadi darah daging kita sebagai bangsa Indonesia, hanya demi sebuah kekuasaan politik?
Dimanakah arti politik sebagai upaya bersama mewujudkan kebahagiaan jika hanya sebagian saja yang berkuasa? Untuk itu semestinya lah kita lebih menyuarakan persatuan dan kesatuan daripada perbedaan yang akhirnya menimbulkan konflik dan perpecahan. Setidaknya Politik Identitas tak boleh merajalela di Indonesia, apalagi di kalangan mahasiswa.

Penulis: Anna Desliani

Posting Komentar untuk "POLITIK IDENTITAS TAK BOLEH MERAJALELA"