Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gagal Menggandeng Perasaan



“Mungkin terselip.” Ucapnya sendu. Ini bukan kali pertama Nunik tersudut oleh perkara cinta. Sepanjang hidupnya sebagai remaja, ia terlampau sering terambung oleh produk asmara yang satu ini, keahlian dalam berkelit adalah perkara mudah baginya.
“Terselip...!” kejut Rama, lelaki yang sejak setahun belakangan tertarik padanya, “layaknya sebuah kotorankah perasaanku ini...?” selidiknya beringsut.
Terselip di antara debu yang terbang. Terlampau kecil perasaanmu.” Sejenak ia menghemuskan nafas tanpa suara, “aku tak bisa merasakan kelebihan dari perasaan mu itu.” Senyum simpul menutup perkataannnya.
“Harus kah aku menahan lapar demi kalian.” Celetuk Rika dari balik gerobak bakso. 
“Jangan lakukan hal konyol Rika,” sahut Nunik yang duduk manis di atas bangku milik paman bakso, “sini..” bujuk Rika.
“iya mbk...” sambar Rama, “ ayo makan, aku juga udah laper.” Timpalnya tanpa berpikir panjang.
“Apa yang mau dimakan ?” kesal Rika, “wong baksonya belum siap.” Sungutnya menerima kenyataan jika dia harus berdiri di dekat paman bakso demi menunggu bakso siap.
            “Istigfar Man,” sahut Nunik, “jangan penuhi pikiranmu dengan diriku” ledek Nunik tertawa kecil, menyaksikan wajah malu Rama yang baru saja melakukan kebodohan.
Setelah lepas dari gelar mahasiswi tahun lalu, Nunik langsung menyabet status pegawai disalah satu Instansi pengadilan di kotanya. Ini semua bukan berkat nilai apik yang ia ukir hitam di atas putih. Melainkan berkat keberuntungan  dan pemahamannya terhadap dunia nyata. Serta do’a orang tuanya yang begitu mujarab dalam mendo’akan anaknya yang tak begitu pintar ini.
            “Mbak yu.., baksonya dimakan lalat.” Celetuk Rika sambil menyeruput teh hangat.
            Sedari tadi, Nunik memang sibuk membalas pesan elektronik dari beberapa temannya yang belum dapat pekerjaan. Hingga ia lupa akan bakso yang seharusnya ia santap lebih awal dari para lalat.
            “Ku suapin...?” tawar Rama pada Nunik yang berada di sampingnya dengan radius dua meter setengah.
            “Ehmmm...” kejutnya mendengar kekonyolan itu, “Belum saatnya,” celetuk Nunik spontan.
            Mendengar hal itu, wajah Rama berangsur bahagia. Senyum tanpa tema menyeruak dari wajahnya. Sedang Rika tertawa geli melihat tingkah kedua manusia di dekatnya itu.
            “Akan kutunggu hingga batas waktu.” Ucap Rama sedikit meyakinkan.
            “Apanya..” bingung Nunik, masih belum menyadari atas ucapannya yang memberi harapan pada Rama.
            “Kan kususun debu-debu kecil tepat di pintu gerbang bahagiamu. Debu bermandikan asmara, dengan rasa cinta seribu satu kehangatan.” Ucapnya menggunakan bahasa langit.
            “Ngawur ini anak.” Kesal Nunik ketika kenyataan memaksa telinganya mendengar ungkapan itu. Tak ingin memperpanjang perkara yang tak ia ketahui sebabnya. Ia pun mulai menyuap bakso yang mulai dingin.
            “Jangan...” larang Rika dan Rama bersamaan ketika melihat Nunik memakan bakso itu.
            “Kenapa ?” Kejutnya, namun ia tetap lahap mengunyah pentol yang sudah masuk mulutnya. “Apa ini bukan punyaku?” selidiknya penuh curiga sembari menutup mulutnya yang  berisi bakso sehingga suaranya sedikit terdengar berbisik.
            “Bukan,” sahut Rama mendahului Rika. “tapi lidah lalat selangkah lebih dulu mencicipi baksomu.”  Tandas Rama yang langsung berdiri dan menyambar mangkok bakso milik Nunik.
            “Hanya itu …?” selidik Nunik curiga dengan menahan mangkok dari sambaran Rama. Sudah barang tentu Rama akan membatalkan niatnya merebut mangkok itu setelah mata Nunik menatapnya tajam.
            “Iya ?” yakin Rama, “maunya apa lagi ?” rasa bingung yang akhirnya menyelimuti pikirannya.
            “oh..” ujarnya santai, lalu kembali melanjutkan makan setelah terhenti beberapa detik sebab perkara lalat tanpa peduli larangan Rama dan Rika.
            “Bakso ini sudah tidak baik untuk kesehatanmu,” tegas Rama.
            “Lalu…?” sikapnya dingin tanpa peduli.
            “Itu berbahaya,” timpal Rika menyokong perkataan Rama.
            Sedang Nunik terus menyuapkan setiap isi dari mangkoknya, Rama berdiri tepat di samping meja Nunik dan Rika dengan radius seperempat meter.
            “Nunik…” tegur Rika. Ia pun ikut-ikutan berhenti makan seperti Rama dan memilih memandangi kawannya itu yang sedang makan bakso yang kenyataannya memang lidah lalat telah selangkah lebih dulu untuk mencicipinya. Dan hal itu tak masalah bagi Nunik, baginya makanan yang dihinggapi beberapa lalat lebih baik daripada makanan yang dikais para pemulung dari tempat sampah. Dan ia tahu jika lalat itu tak hanya membawa wabah penyakit tapi juga membawa obat penawarnya.
            “Kalian berdua.” Akhirnya Nunik angkat bicara setelah keadaan diam, kisaran tujuh menit, tepat saat baksonya habis. Ia juga mulai bangkit dari bangku dengan merapikan baju. Ia tatap lekat-lekat wajah dua kawanya itu, “Terimakasih atas perhatiaannya,” lanjutnya, “dan sekarang aku sudah kenyang.” Senyum tipis menggurat di wajahnya. Senyum inilah yang membuat Rama terpikat pada gadis konyol satu ini. “Mari kita ngantor, sepuluh menit lagi lanjutan sidang akan dimulai.” Ia pun mulai beranjak dari posisinya berdiri, menuju paman bakso untuk membayar.
            “Tunggu.” Seru Rama tiba-tiba sambil berjalan mengikuti Nunik.
            “Ngebayarin..?” sahut Nunik yang sekarang berada di samping paman bakso.
            “Enak aja.” Sinisnya, “Kita bareng ..” lanjutnya setelah mengeluarkan uang rakyat dari saku celana depan.  “Mbak Rika, mau berdiri di situ sampe laletnya beranak ?” ledek Rama
            “ayo..” seru Nunik dengan menarik tangan Rika dan meninggalkan Rama di belakang.
            Semua pegawai Pengadilan Agama kelas IA  sore itu berwajah gelisah, menyaksikan punggung langit berwarna hitam kelabu yang mengeluarkan jutaan mili kubik air darinya. Masing-masing mereka mulai berkumpul ditengah ruangan pegawai panitera. Kejenuhan suasana kantor membuat mereka letih dan segera ingin kembali pada kehangatan keluarga. Ada juga sebagian dari mereka yang hilir mudik tanpa kemudi dan haluan, yang penting berdiri dan berjalan demi menghilangkan kejenuhan. Hal ini pula lah yang dilakukan Nunik, hilir mudik dengan meremas perutnya. Ia berharap agar rahmat Allah; hujan, hendak kiranya berhenti sejenak mengizinkan dirinya dan pegawai yang lain pulang kerumah masing-masing.
            “Sakit…” sapa Rika yang duduk anteng memainkan handphonenya.
            “sedikit.” Lirih Nunik menggigit jemari manisnya.
            Mendengar jawaban itu, ia langsung menghubungi Rama. Kebetulan Rama adalah mahasiswa semester atas dari fakultas keperawatan, berdasarkan pengakuannya ia sedang magang di puskesmas samping gedung pengadilan, untuk menyusun tugas akhir.
            Lima belas menit berlalu, hujan tak kunjung menghentikan pasukannya. Wajah Nunik sedikit pucat pada menit kelima belas ini. Sudah dalam hitungan ketiga ia memasuki toilet, itu artinya ia terkena serangan diare tingkat dasar prediksi Rika. Nunik tak lagi berdiri hilir mudik tanpa kemudi dan haluan. Ia lebih memilih menelungkupkan tubuhnya pada kursi di ruang siding yang memang sepi.
            “Dia datang.” Ujar Rika yang menemani Nunik di ruangan itu. Meski Nunik dan Rika bukan jebolan dari lembaga pendidikan yang sama, namun mereka cukup akrab setelah berbaur dalam satu kantor. Rika adalah pegawai cekatan dalam pekerjaannya, ia direkrut bekerja di instasi ini berkat kepiawaianya dalam dunia hukum, nilai tinggi dan pandai menaruh kata dalam berujar di dunia kerja.
            Berbeda dengan Nunik, yang masuk berkat orang dalam, ayahnya. Bukan ayahnya yang  menjadi salah satu pegawai atau hakim di pengadilan itu. Tapi, murid ayahnya lah yang saat ini menjabat sebagai ketua pengadilan, ayah Nunik tak pernah memohon agar anaknya dijadikan pegawai di pengadilan itu. Namun si ketua pengadilan lah yang menawarkan posisi itu saat sowan kerumah sang guru setelah sekian tahun tak bertemu, saat itu Nunik masih kuliah semester akhir.
Sebenarnya ia tak tertarik bekerja di instansi resmi seperti ini. Terlalu mengekang, menurutnya. Semua pekerjaan dilakukan monoton, tidak bisa bersikap aktif dan inisiatif, berkutat dalam ruangan tertutup pula tak bisa melihat dunia luar secara nyata saban harinya. Berkat keadaan keluarga yang selalu memerlukan uang untuk bertahan hidup, akhirnya Nunik menerima tawaran itu tujuh bulan kemudian, seminggu pasca sarjana.
Ia di tempatkan pada posisi penerima perkara, biasa disebut meja dua jika dalam sistem admistratif pengadilan. Tak tanggung-tanggung biasanya Nunik bisa meladeni para pencari keadilan dalam rumah tangga mencapai 10-15 pengaduan dalam sehari. Mulai dari perkara perceraian, istbat nikah, permohonan nikah anak di bawah umur,masalah harta gono gini hingga masalah persantetan yang disinyalir oleh para pihak  menyebabkan retaknya hubungan rumah tangga mereka. Tak jarang pula, Nunik harus menghadapi para pihak yang mengadu dalam keadaan menangis, histeris dan bahkan ada yang pingsan ketika Nunik meminta keterangan lebih dalam mengenai permasalahan yang dihadapi.
“Begitu beratkah dunia pernihakan.” Batin Nunik suatu waktu, menyaksikan seorang isteri menangis tersedu-sedu yang mengaku tidak mendapat nafkah lahir dan batin selama lima belas tahun.  
Pekerjaan Nunik menuntut dia sebagai pendengar yang pasif, dan menggali data yang dirasa kurang apabila pihak pengadu belum meberikan penjelasan duduk perkara secara gamblang. Setelah data terkumpulkan, maka ia akan membuatnya dalam berkas perkara masuk yang nantinya akan ditindak lanjuti pihak panitera. 
            “Kau memangggilnya, Rika?” Pekik Nunik memicingkan mata.
            “Sudah barang tentu kawan.” Jawab Rika, “lihatlah, meski hujan ia tetap kemari untuk mengobatimu.” Mata Rika melirik genit pada kawannya yang meringkuk kesakitan.
            Tanpa mengalami kebingunan Rama langsung nyelonong, masuk ke ruang sidang II tempat dua gadis menepi dari ramainya pegawai kantor yang sedang berkumpul di ruang pegawai.
            “Hai...” Sapa Rama menebar senyum.
            Ia duduk bersila di hadapan dua gadis itu, fokus menatap Nunik yang telah mengubah posisi duduk; selonjoran. Membuka resleting tas nursing kit yang ia bawa. Berdasarkan perkiraan kedua gadis itu, Rama akan mengeluarkan stetoskop,lalu bakalan meriksa Nunik.
            “Ah, elu, manggil perawat gadungan sih.” Seloroh Nunik spontan, melihat Rama malah mengeluarkan handphone dari tas itu.
            Rama tersenyum, berkat hujan lokal yang mengguyur kota kecil itu, membuat Rama harus memasukan si handphone ke dalam tas tersebut. Dan ia merasa tak perlu meladeni orang yang lagi dalam pesakitan. Sedang Rika hanya tersenyum masam.
            Nunik hendak beranjak berdiri, pikirnya bisa menambah rasa sakit jika diperiksa oleh anak magang serupa Rama, yang belum mengantongi lesensi.
            “Emang kamu mau aku periksa di bagian perut?” Cegah Rama sambil mengeluarkan stetoskop. “Pasti nolak.” Ucap Rama menekan suara seminimal mungkin.
            “Jadi?” Sambung Rika, sembari menahan tangan Nunik agar tak beranjak.
            “Kamu minum ini saja, untuk mengganti cairan yang hilang.” Rama menyodorkan jus buah jambu instan. “Bisa juga mengurangi cairan yang keluar. Yah, setidaknya sore ini kamu punya tenaga buat pulang ke rumah, lalu istirahat.”
            “Cairan apa?” Sergap Nunik, seperti orang linglung, menerka cairan apa yang di maksud jejaka di hadapannya ini.
            “Kamu kan diare.” Celetuk Rama yang diaminkan Rika.
            “Ckck... sepertinya kamu harus kuliah lagi deh. Duduk manis mendengarkan penjelasan dosen dengan seksama, jangan main handphone aja atau menggoda gadis lain.” Ucap Nunik serupa menggurui.
            “Kamu dari tadikan bolak-balik ke toilet. Jadi perkiraan ku terserang diare. Terus kata Rama, ‘bisa jadi’.” Rika melakukan pembelaan atas tatapan tajam Rama yang meminta penjelasan.
            Nunik tersenyum masam, melihat kedua makhluk di hadapanya ini. “Aduh.” Keluh Nunik sambil meremas rok yang dikenakan. “Senggugut. Ini hari kedua aku datang bulan.” Ucap Nunik tanpa harus menunggu serangan pertanyaan Rama.
            “Owalah.” Gumam Rika memahami disaat Rama mengalami kebingungan.
            “Pasti perawat tampan ini belum mengenal istilah penyakit kampung.” Celetuk Nunik mengernyitkan kening.
            “Sebenarnya aku ngambil profesi ners setahun belakangan. Itu artinya aku sudah lulus sarjana perawat. Sekarang aku ditempatkan di puskesmas sebelah sebagai praktik pemantapan teori dan pengamalanya.” Jelas Rama dilaur konteks pembahasan sore itu.
            “Lalu?” Ujar Rika semangat menyimak, hematnya waktu itu, pasti Rama bakalan membuka jati dirinya selama ini yang terasa goib.
            “Sekedar info aja Rika.” Sergap Nunik, sembari berdiri dan jalan dengan limbung sebab manahan rasa sakit yang meremas se isi perut.
         
si Mbah   
Ilustrasi: http://luciahartini.blogspot.co.id/2012/05/turn-to-religion.html

            

Posting Komentar untuk "Gagal Menggandeng Perasaan "