Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bukan Dunia Kita

            
Di lubang itu makhluk Tuhan telah kembali. Tanah kuning bercampur pasir memudahkan lelaki berusia 15 tahun itu mencangkulnya. Sesendok demi sesendok ia keruk tanah itu dengan sabar. Hingga pada akhirnya membentuk suatu lubang berukuran 25 cm x 10 cm.
            “Ini cukup?” pikirnya seorang diri, mengukur lubang tersebut dengan penggaris panjang milik abangnya.
            “Cukup.” Ucapnya menegaskan keyakinan diri.  Pupil lelaki itu melirik tajam pada dua gundukan di samping kiri lubang yang sedang ia kerjakan. Di atas dua gundukan itu, telah ramai ditumbuhi rerumputan liar yang juga makhluk Tuhan.
            “Niaaar...!” seru seorang gadis dibalik pagar kayu, “ayo ke mesjid.”
            “20 menit lagi.” Sahut lelaki itu, ia mengacungkan sendok yang digunakan untuk mengeruk tanah ke udara.
            “Penghulunya sudah datang,”
            “Sssttt...” Desah Niar sangat keras sambil melemparkan bongkahan tanah ke arah gadis yang berdiri di balik pagar itu.
            “Huufftt... kampret” Gerutu si gadis, sembari mengguncangkan pagar kayu yang baru selesai di cat itu.
            “Jangan melangkah tanpa langkahku!”  Seru Niar ketika mendengar langkah si gadis menjauh dari pagar, separuh tangannya masih berada dalam lubang, sedang matanya terpejam karena ditembak oleh baiasan cahaya matahari pagi.
            “Diantara kita tidak ada kecacatan pada kaki, mengapa harus melangkah bersama?” gerutu si gadis untuk kedua kalinya di pagi sabtu itu, “jika bukan karena perintah, kutinggalkan kau.”
            “Tinggalkan bangkai kucing itu, ijab qabul tak memakan waktu lebih dari setengah jam.”Perintah si gadis lagi, ia kembali melangkah, mendekati pagar.
            “Sofi baweeeeeel.” Teriak Niar.
            “Kampret... sudah kubilang panggil aku ‘mbk’, usia kita terpaut lima tahun.” Kini si gadis yang tak lain adalah Sofi itu membelakangi pagar. Menyeka keringat yang keluar dari sela-sela kulit putihnya. Pupur gadis itu mulai luntur berkat keringat yang tak diinginkan, “Masya Allah Niar, kematian kucing lebih menarik perhatianmu daripada kebahagiaan Abangmu.” Lirih Sofi, matanya menjurus pada tubuh anak lelaki yang bersimbah keringat itu.
            Bug. Kerikil kecil menghantam kening Sofi. Niar tersenyum seperti tuyul dapat uang. Sedangkan Sofi menggosok pelan keningnya sambil berjalan meninggalkan Niar tanpa berucap.
            “Kamu marah padaku atau pada abangku?” Goda Niar, berusaha mengiringi langkah Sofi dari dekat. “Kamu suka kan pada abangku?” Godanya tanpa mengindahkan emosi Sofi yang mulai jengkel, “waktu itu aku pernah baca buku dairi mu,” matanya melirik pada jilbab Sofi yang mulai mengembang berkat angin pagi itu.
            “Jangan ngaco deh, lelaki dalam buku diari ku banyak. Abangmu itu sekian dari lelaki yang membuat aku semangat membenci lelaki.” Sahut Sofi, ia membasuh kedua tangan sebelum memasuki balai pernikahan.  
            “Jadi ...?” sungut Niar menahan sakit sebab lengannya diremas oleh Sofi.
            “Jadi .... Jangan pernah baca buku diari ku lagi. Jika tidak, habislah kuburan kucingmu itu, ku gusur semua.” Ancam Sofi tanpa melemahkan cengkraman tangannya.
            Niar merupakan remaja yang sangat peduli terhadap kucing-kucing kampung yang mati tak mengenal tempat. Sebab menurutnya, kucing itu adalah makhluk Allah yang perlu perhatian, setidaknya diakhir kehidupannya di dunia ini. Biasanya remaja 15 tahun ini akan berkeliling kampung saat sore untuk memastikan kucing-kucing kampung dalam keadaan sehat. Dan jika ada yang mati, maka ia tak segan untuk menggalikan liang seperti yang ia lakukan pagi itu. Namun sayang, Niar yang berparas sedikit tampan ketimbang abangnya itu telah menjatuhkan pilihan lokasi pemakaman kucing-kucing itu di halaman belakang rumah Sofi. Sebab disitulah tepat strategis baginya untuk menggali tanah yang tidak terlalu keras ketika disekop dengan sendok makan alumunium.
            “Yaelah,” tangan Niar berusaha mengendorkan cengkaraman Sofi, “dari dulu juga kamu ngencam kaya gitu,” setelah berhasil melepaskan cengkaraman itu, Niar juga membasuh kedua tapak tangan dan kedua kakinya. “Tapi dari dulu juga kamu kalah takut dengan bangkai kucing-kucing itu,” Niar tersenyum menang. “Makanya gak pernah kamu gusur.” Emosi Sofi berasa diundang keluar oleh senyum Niar itu. Tak pelak membuat Sofi ingin menghajar Niar di tempat. Namun belum sempat emosi itu tersalurkan Niar keburu berucap kembali. “Kita masuk dulu, nanti kita lanjutkan debatnya.”
.........
            Niar duduk, melesukan diri sore itu. Tangannya dibuat sibuk dengan memangkas rumput-rumput liar di sekitar gundukan tanah; kuburan para kucing kampung. Bug. Kerikil kecil menghantam punggung Niar. Sudah dapat dipastikan, pelakunya adalah si gadis pemilik tanah.
            “Lu...” teriak Sofi, “dicariin ibu lu, cepat pulang.”
            Yang dipanggil tak memberikan respon. Tetap diam, melesukan diri. Bug. Kedua kalinya Sofi melempar kerikil ke tubuh Niar. “Cepat balik, kasihan ibumu.” Perintah Sofi, kali ini ia tidak hanya beridiri dari tangga belakang rumahnya, ia berjalan menghampiri tubuh Niar, hampir-hampir saja Sofi dapat serangan jantung ketika melihat wajah Niar penuh lebam.
            “Laen kali pake batu granat buat ngelempari aku.” Sambar Niar melihat Sofi tertegun menyaksikan wajahnya yang penuh warna kebiru-biruan.
            “Kamu baca buku diari siapa kali ini?” selidik Sofi, ia menurunkan tubuhnya agar terasa nyaman berbicara pada Niar yang kemungkinan sedang sedih pikirnya.
            “Ciah... Lu mah gitu.” Kesal Niar, “cuman buku diari mu saja yang pernah ku baca, dari seri satu saat kamu pertama nulis di kelas lima hingga seri yang kekinian.” Mata Niar melirik menang pada Sofi, meski sekarang bukan saatnya bercanda tapi Niar berusaha, selalu dan kapanpun menggoda tetangganya ini.
            “Kampret lu.” Tandas Sofi.
            Niar tak membalas karena pikirannnya terlalu lelah untuk berseturu rupanya. “Besok aku naik Bus, perjalanan selama 12 jam. Tak tertarikah kau memberiku uang sebagai uang jajan?”
            “Intinya, kamu kenapa?” Sofi minta penjelasan.
            “Intinya, kamu bakal senang karena gak ada yang ngerepotin lagi.” Terang Niar sembari menyeruak meninggalkan Sofi di antara gundukan itu, Sofi mencoba menerka keadaan anak tetangganya itu. Sebab apa dia bertingkah aneh hari ini. Bukankah pagi tadi semua keadaan masih terasa stabil dan normal? Bahkan seminggu belakangan ini, pasca pernikahan saudara lelaki Niar, keadaan baik-baik saja tidak ada yang mengindikasikan pertengkaran.
            “Oh yaa, sekarang tanahmu juga bebas. Karena aku tak akan membenamkan bangkai kucing di sini lagi.” Pekik Niar dari kejauhan.
<-------------->

            “kasihan lihatnya,” seru Sasa ketika melihat anak kucing mati di dekat tiang listrik. Jika dilihat dari kondisi tubuhnya, kucing itu seperti kehabisan darah, tubunya mengering dengan bulu-bulu yang masih segar dipandang.
            “Kita kuburkan saja,” ajak Sofi, ia langsung mencari kantong plastik disekitar lokasi untuk membungkus tubuh naas kucing itu. “Jadi ingat si kampret.” Lirih Sofi seorang diri.
            Sekarang adalah 7 tahun dari waktu yang telah berlalu, seorang Sofi yang bukan lagi gadis labil seperti waktu itu. Kini ia sudah bekerja sebagai wartawan lepas di harian surat kabar yang tak begitu banyak oplah perharinya.
            Belakangan beberapa pertanyaan yang dulu pernah muncul dan tak terjawab kini mencuat kembali dalam pikirannya. Pertanyaan seputar tetangganya di kampung, remaja jahil yang suka menggagu ketenang hidupnya kala itu. Pertanyaan seputar keluarganya juga, si Ibu dan suadara lelakinya. Tanpa ada suara miring dua saudara lelaki dan satu ibu itu meninggalkan rumahnya di kampung Serunai. Tepatnya setelah wajah Niar menjadi lebam kebiru-biruan. Esoknya, mereka langsung pindah tanpa pamit ke para tetangga kecuali keluarga Sofi. Hingga hari ini, mereka tak pernah berjumpa lagi dan berhubungan lagi.
            “Loh, kucingnya mana?” Pekik Sofi bingung melihat tak ada lagi bangkai kucing yang hendak ia benamkan.
            “Sudah diambil sama lelaki tetangga kita,” jelas Sasa, “katanya mau dikuburkan.” Lanjutnya.
            “Tetangga yang mana?” selidik Sofi penasaran, sebab sepengetahuannya sejak tinggal di komplek itu selama 4 tahun terakhir, mereka tidak memilki tetangga lelaki. semua para orang tua yang ditinggalkan anaknya bekerja di kantoran paling ada lelaki yang bekerja sebagai sopir atau suami dari asisten rumah tangga yang merawat para lansia tersebut sehingga tak ada waktu buat mereka mengurus bangkai kucing.
            “Baru pindah kemarin sore. Maysa Allah, masih muda dan tampan sekali. Jarang-jarang ada anak muda yang peduli terhadap bangkai anak kucing di zaman sekarang ini.” Puji Sasa.
            Lelaki? Muda? Peduli pada bangkai kucing? Ciah... masih ada keles yang kaya begituan zaman sekarang. Iyah, Niar lah lelaki yang ku tahu berkelakuan seperti itu. Tapi untuk kategori tampan, tunggu dulu. Harus kroscek langsung.

           
(si Mbah)

#Cerbung1

           



           



Posting Komentar untuk "Bukan Dunia Kita"