MENGAPA BANYAK TOKOH HMI TERLIBAT KORUPSI?
Sumber: Google.co.id |
Oleh: Syamsir Alam
“Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat, seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia”, SeloSumardjan, dalam pengantar buku “Membasmi Korupsi” karya Robert Klitgaard.
TERSANGKA kasus dugaan korupsi pembangunan wisma atlet
SEA Games di Palembang Muhammad Nazaruddin terus menuding Anas
Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, terlibat dan bertanggung jawab
dalam kasus yang kini menimpanya. Bukan hanya itu, Anas pun disebut
terkait dengan dugaan korupsi pembangunan stadion Hambalang di Sentul,
Bogor, Jawa Barat. Meskipun Anas belum menjadi tersangka, dan malah
menyerang balik menjadikan Nazaruddin sebagai tersangka dalam kasus
dugaan pencemaran nama baik, namun sebagai mantan Ketua Umum Pengurus
Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hal itu cukup memalukan.
Agar tidak terus memalukan organisasi, Ketua Umum Persaudaraan Alumni
HMI Bursah Zarnubi –saat peluncuran Persaudaraan Alumni HMI dengan
tujuan untuk mengisi kekosongan dari gerakan yang ada di Korps Alumni
HMI (KAHMI), di Gedung SMESCO, Jalan Gatot Subroto, Jaksel– Jumat malam
(14/10) yang lalu, menegaskan agar kader HMI yang muda tidak mengulangi
kesalahan mantan kader-kader senior tersebut. Diharapkan kader HMI harus
mampu menjadi motor penggerak perubahan bangsa ke arah yang lebih baik.
(RakyatMerdekaOnline, Jakarta,Jum’at, 14 Oktober
2011, 22:14:00 WIB). Memang, bukan hanya Anas saja kader HMI yang
tersandung kasus korupsi. Sebelumnya mantan Ketua Umum HMI lainnya,
Akbar Tanjung sempat menjadi tersangka dalam kasus korupsi dana
non-budgeter Bulog sebesar Rp 40 miliar. Hal itu terjadi tatkala ia
menjadi Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Habibie.
Sebelumnya lagi, ada sejumlah nama eks tokoh organisasi itu pernah
disorot atau diberitakan dalam kaitan masalah korupsi, Ahmad
Tirtosudiro, Bustanul Arifin SH, Ir Beddu Amang dan ‘banyak’ nama
lainnya, yang lebih muda, terkenal maupun tak terlalu terkenal, dari
waktu ke waktu.
Setelah pintu kekuasaan terbuka
Ketua Umum HMI-MPO, Alto Makmuralto, dalam acara halal bi halal HMI
di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Sabtu (24/9) menegaskan dalam
pengkaderan HMI tidak pernah diajarkan untuk korupsi. (RakyatMerdekaOnline,
Jakarta,Sabtu, 24 September 2011, 14:23:00). Kader HMI selalu
ditekankan untuk beridealisme dari sejak mahasiswa, bahkan diharapkan
sampai kader itu menjadi alumni.
Seperti diketahui, HMI adalah sebuah organisasi mahasiswa yang
menjunjung teguh ideologi keagamaan Islam. Pada era Orde Baru yang
represif, HMI dikenal dengan sikap kritisnya terhadap pemerintah. Untuk
mengontrol kekuatan kelompok Islam, melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun
1985 pemerintah menetapkan kebijakan azas tunggal Pancasila sebagai
satu-satunya azas ormas. Sejumlah ormas kelompok Islam yang menentang
kebijakan itu pun segera dibubarkan.
Pada forum kongres HMI di Padang pada tanggal 24-31 Maret 1986,
dengan pertimbangan-pertimbangan politis beserta tawaran-tawaran menarik
lainnya HMI melepaskan azas Islam sebagai azas organisasinya. Saat itu
terasa adanya intervensi pemerintah melalui Akbar Tanjung, Abdul Gafur
dan Cosmas Batubara untuk menerima azas tunggal Pancasila tersebut
dengan alasan penyelamatan organisasi dari pembekuan. Namun, sebagian
kelompok pengurus HMI menolaknya, dan tetap mempertahankan azas Islam.
Kelompok yang tetap bertahan itu kemudian dikenal dengan istilah HMI MPO
(Majelis Penyelamat Organisasi), sedangkan HMI resmi yang
bersekretariat di Jalan Pangeran Diponegoro Jakarta disebut sebagai HMI
DIPO.
Walaupun pada Kongres Jambi 1999, HMI DIPO kembali ke kepada azas
Islam, tetapi HMI DIPO dan HMI MPO tidak bisa disatukan lagi. Perbedaan
karakter dan tradisi keorganisasian yang sangat besar di antara keduanya
membuat kedua HMI ini sulit disatukan kembali. HMI DIPO nampak lebih
berwatak akomodatif dengan kekuasaan dan cenderung pragmatis sehingga
rentan virus, sementara HMI MPO tetap mempertahankan sikap kritisnya
terhadap pemerintah. Akbar Tanjung yang membawa HMI DIPO merapat ke
pemerintah kemudian mendapatkan posisi yang baik di Golkar. Begitu pula
aktivitis HMI lainnya yang pragmatis, banyak yang menyusul Akbar masuk
Golkar atau partai lain setelah pintu kekuasaan dibuka untuk mereka.
Sedangkan HMI MPO yang tetap berada pada jalurnya semula bersikap
kritis kepada pemerintah. Pada peristiwa pendudukan gedung DPR/MPR
tanggal 18-23 Mei 1998, HMI-MPO adalah satu-satunya ormas yang berhasil
menduduki gedung perwakilan rakyat tersebut di hari pertama. Bersama
FKSMJ dan FORKOT, yang kemudian diikuti oleh ratusan ribu mahasiswa dari
berbagai universitas dan kota, bergerak terus hingga Soeharto jatuh
pada 21 Mei 1998.
Pasca jatuhnya Soeharto, HMI MPO pun masih terus melakukan
demonstrasi mengusung gagasan perlu dibentuknya Dewan Presidium Nasional
bersama FKSMJ. Namun, secara organisasi HMI yang resmi adalah HMI DIPO,
sedangkan HMI MPO lebih bersifat gerakan bawah tanah melalui
sayap-sayap aksinya yang ada di sejumlah provinsi, antara lain adalah
FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta) dan LMMY (Liga
Mahasiswa Muslim Yogyakarta). Karena itu, banyak mantan aktivis HMI yang
tidak mengizinkan sanak familinya untuk masuk ke dalam HMI DIPO (id.wikipedia.org/ wiki /Himpunan_Mahasiswa_Islam).
Jebakan kekuasaan
Menarik untuk meminjam ilustrasi dari tulisan Djoko Susilo (Koran Tempo, 7 Oktober 2011), menceritakan pengalaman Michela Wrong, seorang wartawati koran Financial Times, yang menulis dalam bukunya “It’s Our Turn to Eat”
bagaimana gerakan antikorupsi di sebuah negara Afrika mati suri. Pada
mulanya para aktivis itu berjanji akan memberantas korupsi ketika mereka
masih dalam posisi sebagai oposisi dan belum punya jabatan. Namun,
segera setelah menjabat dan berkuasa, semua janji dan idealisme itu
mudah terlupakan. Salah satu penyebabnya adalah ketika setelah berkuasa
semuanya hanya berniat berbagi kue kekuasaan dan jabatan. Jadi, penguasa
boleh berganti namun korupsi akan jalan terus. Siklus ini akan terus
berjalan, tidak akan berhenti jika virusnya sejak awal tidak dihentikan
dengan cepat.
Menurut Wrong, kesalahan utama para reformer dan aktivis
antikorupsi tulen, mereka tidak cepat-cepat menumpas penyakit korupsi
begitu kesempatan terbuka. Akibatnya, birokrasi korup, yang tadinya
sudah takut akan gelombang antikorupsi, secara perlahan tetapi pasti
mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru, dan malah mampu menjinakkan
para penguasa baru tersebut. Masalahnya, para “pemimpin” yang menjadi
penguasa baru itu selama ini hanya iri tidak mendapat giliran berkuasa,
sehingga dengan cepat ia akan terperangkap dalam sistem korup yang sudah
ada sebelumnya.
Karena itu, tidak heran bila Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Busyro Muqoddas mengingatkan, bahwa para koruptor juga melakukan
kaderisasi dan advance training, dengan instruktur-instruktur
handal yang bisa mengasah kemampuan kader-kader koruptor muda, di
hotel-hotel mewah atau hotel berbintang. “Pesertanya adalah kandidat
koruptor muda. Nanti akan kita klasifikasi berdasarkan umurnya,” katanya
(DetikNews.com, Jakarta, Minggu, 18 September 2011).
Sistem yang korup itu makin subur ketika sistem politik yang ada
berdiri tanpa ideologi yang jelas. Pragmatisme partai politik tanpa
ideologi itu mirip dengan bus kota yang siap mengangkut siapa saja calon
penumpang yang bersedia membayar tiketnya. Perkembangan korupsi saat
ini, kata Busyro dalam kuliah umum pemberantasan korupsi di kampus
Universitas Indonesia, Depok, Jumat (18/11), telah merambah seluruh
jajaran birokrat. Pusarannya sudah menggerogoti hakim, jaksa, kepala
lembaga, kementerian, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. “Sumber korupsi itu lembaga negara, lembaga
pemerintah, swasta ketika birokrasi tidak transparan”, katanya kepada
pers. Bagi banyak orang, korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran
hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian
perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi
paling jelek.
Seperti dalam film “Resident Evil”
Dalam film “Resident Evil” yang dikembangkan dari games,
diceritakan penduduk di sebuah kota yang tercemar virus ganas berusaha
menginfeksi penduduk lainnya menjadi mutan, yang selanjutnya akan
mencari mangsa baru, sampai kota itu terinfeksi seluruhnya. Itulah
gambaran mengenai korupsi di Indonesia yang telah berkembang secara
sistemik.
Bayangkan, seorang tokoh baru yang masuk ke lingkungan kekuasaan yang
sudah tercemar virus korupsi, kalau ia tetap berada di lingkungan itu,
lambat laun imannya (imunitas terhadap virus korupsi) akan terkikis
sedikit demi sedikit, dan akhirnya menjadi mutan baru sebagai koruptor
yang ganas. Kalau tidak berubah juga, ia akan dianggap sebagai alien
bagi kelompok koruptor yang berkuasa, dan akan disingkirkan oleh mereka
karena takut rahasia kelompok mutan tersebut akan terbongkar.
Menurut mantan dekan FISIP UI, Profesor Doktor Muhammad Budyatna,
budaya korupsi di kalangan penjabat disuburkan oleh penguasa Orde Baru.
“Demi melanggengkan kekuasaannya, Soeharto memang sengaja membiarkan
semua orang di sekitarnya untuk korupsi, menikmati kekayaan materi yang
melimpah ruah sehingga nantinya tidak ada seorangpun yang berani
mengutak-utik kekuasaannya”, kata Prof. Budyatna, mantan salah satu
ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Umat Islam. Di samping itu, jika di
kemudian hari Soeharto harus turun, tidak akan ada yang berani
membawanya ke pengadilan, karena orang-orang itu bisa terbawa-bawa, dan
adanya ikatan moral korupsi pada orang-orang tersebut. “Bagi Soeharto
semakin banyak orang yang korupsi maka semakin kuat pula posisinya
sebagai seorang penguasa tunggal”, kata Prof Budyatna (Cakrawala.online, Jakarta, 15 Juli 2010).
Konstruksi kekuasaan yang bersifat koruptif itu diperkuat lagi oleh
sikap pragmatis dunia internasional, terutama Amerika Serikat, dalam
mengontrol negara-negara berkembang. Menurut Presiden Transparency International, Peter
Eigen, kasus-kasus korupsi ini sebagian disembunyikan oleh konspirasi
di negara-negara industri maju, karena seorang pimpinan negara sahabat
yang korup dapat ditoleransi selama ia berada secara tegas di sisi
kelompok kapitalis, atau negara blok Barat. Hal yang sama terjadi pada
negara blok Timur.
Dalam diskusi “Indonesiaku Dibelenggu Koruptor” di Jakarta, Sabtu
(4/6), pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Ikrar Nusa Bhakti, mengatakan pelaku korupsi di Indonesia sudah tidak
malu dan tidak takut lagi melakukan korupsi. Pejabat dan politisi yang
sudah ketahuan melakukan korupsi tidak ada yang mundur dari jabatannya.
Menurut Ikrar, di Jepang pejabat dan politisi yang ketahuan korupsi
langsung mundur dari jabatannya. Bahkan, ada pejabat di Jepang yang
hanya menerima 50.000 yen atau sekitar Rp. 5 juta saat kampanye,
kemudian dituduh korupsi, ia pun langsung mundur dari jabatannya.
“Di Indonesia untuk menjadi pejabat dan politisi biayanya sudah
sangat mahal, sehingga mendorong pejabat dan politisi berperilaku
korup,” katanya. Ikrar mengutip pernyataan politisi dari PDI Perjuangan,
Pramono Anung, yang pernah mengatakan, untuk menjadi anggota DPR RI
biayanya bisa mencapai Rp. 5 miliar. (Antaranews, Jakarta, Minggu, 05 Juni 2011 12:07)
Solusinya, perlu pimpinan yang tegas untukmembasmi wabah korupsi
Menurut Sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola, akar
masalah korupsi di Indonesia adalah budaya feodalisme sisa dari zaman
kerajaan, yang menyebabkan para pejabat yang berkuasa merasa berhak
menguasai harta negara menjadi milik pribadi mereka. “Para pejabat
merasa aset negara adalah milik pribadi, dan masyarakat memaklumi itu
semua. Ditambah lagi dengan budaya memberikan upeti untuk mendapatkan
posisi tertentu yang subur dilakukan pada zaman penjajahan Belanda. Ini
masih merasuk dalam sistem budaya masyarakat,” ujar Thamrin (VHRmedia, Jakarta, 10 April 2010 – 14:44 WIB)
Karena itu, korupsi di Indonesia sekarang ini sulit dibasmi, selain
dianggap sebagai suatu kewajaran, lingkungan kekuasaan mudah terjangkit
wabah korupsi oleh virus-virus korupsi yang ganas dan kebal terhadap
berbagai “obat pembasmi korupsi”. Selain mampu bermutasi dengan berbagai
bentuk korupsi baru, undang-undang yang dibuat sebagai obat pembasmi
korupsi itu pun sengaja dibuat oleh mereka yang telah terjangkit virus
korupsi agar efeknya tidak begitu ampuh, dan mudah diselewengkan.
Bahkan, undang-undang antikorupsi yang kuat pun dapat diakali oleh
pejabat pengadilan yang sudah ketularan virus korupsi. Hasilnya, banyak
kasus pada sidang pengadilan korupsi yang terdakwanya dibebaskan dengan
alasan tidak terbukti bersalah. Jadi, walaupun sudah dibuat
undang-undang antikorupsi yang baik, namun manusia pelaksanalah yang
memegang peranan utama, baik menyangkut sumberdaya fisik maupun non
fisik, sebagaimana ungkapan the man behind the gun, maka manusialah sebagai penentu.
Kalau sudah begini situasinya, satu-satunya cara membasminya adalah
format ulang sistem budaya masyarakat “malu korupsi” agar berani
mengucilkan para koruptor dari pergaulan, sebagai hukuman setimpal bagi
mereka. Diperlukan seorang pimpinan yang tegas, dengan imunitas tinggi
terhadap godaan korupsi, mampu bertindak cepat menghentikan virus
korupsi baru sebelum kena infeksi pula. Bila mengandalkan pada
pendidikan, menurut pengamat diperlukan satu generasi baru yang bersih
sejak lahir (lebih kurang selama 30 tahun) sebagai pengganti generasi
lama yang sudah tercemar virus korupsi tersebut. Tidak heran jika Selo
Sumardjan, saat ditanya oleh M. Yusuf A.S. dari MedTrans tentang bagaimana caranya memberantas korupsi di Indonesia, hanya menjawab pendek, “Ambil tindakan!!” (cakrawalainterprize.com/?p=41). Sekarang, atau terlambat, seluruh jajaran menjadi koruptor semuanya.
KEMBALI ke HMI, kenapa begitu banyak eks tokohnya yang terlibat
korupsi? Coba dihitung dengan cermat. Mungkin karena eks tokoh
organisasi mahasiswa ‘terbesar’ jumlah anggotanya itu paling gesit dalam
pengambilan posisi dalam kekuasaan, tersebar di segala lini dan
institusi kekuasaan legislatif, judikatif dan terutama eksekutif maupun
partai politik. Padahal institusi-institusi itu sejak lama telah
dirasuki virus korupsi.
*Syamsir Alam. Mantan aktivis
mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’,
namun tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut
situasi politik sekarang. Sumber tulisan: http://socio-politica.com
Posting Komentar untuk "MENGAPA BANYAK TOKOH HMI TERLIBAT KORUPSI?"
Berkomentarlah dengan bijak