Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cita-cita bukan Cita Citata

Saya tak pernah punya cita-cita yang wajar. Ketika kawan lain di TK ingin jadi pilot, dokter, tentara dan polisi. Saya ngotot pada Ibu Halifah, guru TK saya, ingin jadi Ranger Biru yang pintar dan insinyur itu. Menginjak SD cita-cita kawan saya sudah mulai rasional ingin jadi guru atau sekedar orang kaya, iya ada anak kecil yang berpikir orang kaya itu adalah hal yang hebat, saya malah ingin jadi Kotaro Minami si Putra Matahari Ksatria Bajahitam RX. Barangkali mimpi-mimpi saya adalah hal naif yang jadi lelucon tengil.

Menginjak SMA ketika hidup saya sudah mulai masuk akal dan pikiran mulai logis. Keinginan saya sederhana saja. Bukan cita-cita tapi obsesi dan tujuan hidup. Saya ingin punya banyak buku, membacanya, lantas menulis seusai membaca. Sesederhana itu dan semudah itu. Ketika kawan-kawan lain seusia saya terobsesi menggeber dan memodifikasi motornya hingga jadi sangat ciamik. Saya mengumpulkan uang rupiah demi rupiah dari uang saku dan kerja sambilan untuk membeli buku. Saya jadi aneh dan tersisih menjadi sekrup tumpul yang tak bisa berfungsi dengan baik.

Saat kuliah dan melihat betapa brengseknya dunia orang dewasa saya jadi semakin mantap bahwa saya lebih baik mati muda saja. Saya tak tahan untuk hidup dirundung hutang untuk melunasi kost, SPP kampus, dan cicilan-cicilan lainnya. Saya tak tahan untuk terus bekerja keras untuk memenuhi keinginan memiliki gajet, memiliki ini itu yang tak saya butuhkan. "Kamu harus bekerja keras jadi kamu bisa memenuhi segala keinginanmu. Kamu harus bekerja keras supaya nanti bisa menikmati hasil jerih payahmu. Kamu harus kerja keras supaya kaya dan punya tabungan jadi bisa melakukan hal yang kamu mau," begitu orang-orang bilang.

"Apa selamanya mau jadi karyawan? Kamu gak mau jadi bos punya uang banyak bisa punya ini itu dan bisa ini itu?" kata seorang kawan yang kini jadi pengusaha, dia menyebut dirinya sosial enterpreneur, peternak sapi yang lumayan sukses. Sejujurnya saya tak masalah menjadi karyawan. Saya tak suka memimpin, tak suka berpikir lebih dari yang saya butuhkan dan juga tak mau punya terlalu banyak uang. Saya sudah cukup belajar bagaimana uang membuat saya berantakan. Saya sudah cukup tahu bahwa punya banyak uang untuk sedikit lagi sampai pada tahapan menjadi tamak dan tak mau tahu asal punya lebih banyak.

Saya tak suka bekerja dan memiliki lebih dari yang saya butuhkan.

Kakak saya yang lumayan mapan berkata bahwa menjadi kaya itu pilihan. Tapi memiliki persiapan untuk sebuah skenario terburuk di negeri yang kepalang bangsat adalah keharusan. Di negeri ini mereka yang punya uang adalah orang orang yang selamat. Tidak melulu dalam hal negatif seperti korupsi dan sebagainya. Tapi seperti jika orang yang kau sayang sakit, kau tentu ingin ia dirawat dengan pelayanan terbaik. Itu butuh uang. Ketika keluargamu terjerat masalah hukum dan butuh pembelaan terbaik. Itu butuh uang. Ketika kau ingin anakmu punya ijasah dari lembaga pendidikan yang terbaik. Kau butuh uang. Tapi untuk pengetahuan tak harus mahal, saya akan mengajarkan anakku pengetahuan dari buku yang aku miliki. Sementara untuk ijasah sarjana ia harus beli dengan sangat mahal di institusi pemerintah atau swasta.

Orang berlomba-lomba untuk jadi kaya, sangat kaya, tapi sedikit yang mau jadi pintar, terdidik dan memiliki pengetahuan. Mengapa? Karena uang praktis. Kau bisa membayar mahal seorang profesor untuk membuat dildo super yang memproduksi orgasme ganda. Kau bisa membayar mahal seorang penyair atau penulis best seller dunia untuk menulis buku tentang dirimu dan kesuksesanmu. Kau bisa membayar mahal satu pasukan elit yang dididik dari uang pajak negara untuk melindungimu dan aset kekayaanmu. Uang sangat praktis dan mudah digunakan, sedangkan pengetahuan begitu abstrak dan tak bisa langsung dirasakan manfaatnya.

Sekarang ketika kawan-kawan lain yang saya kenal bekerja keras membanting tulang memeras keringat gila-gilaan. Saya malah bersantai dan tak mengerjakan apa-apa kecuali membaca dan menulis. Mereka bilang saya bodoh dan gila. "Nanti kamu ketika tua akan pontang-panting memenuhi kehidupanmu. Nanti kamu akan susah ketika berkeluarga gak punya uang," kata mereka. Lho saya menjalani mimpi saya. Mereka bermimpi punya rumah besar dan mobil mewah. Sedang saya hanya bermimpi punya buku dan membacanya. Mereka bekerja keras demi mimpi itu sementara saya sudah mencapainya. Apa yang salah?

Cita-cita dan Kecelakaan Uang
Mungkin memang saya harus menabung. Bukan untuk saya. Buat orang yang saya cintai. Uang bisa dicari tapi kebahagiaan itu bisa dibeli? Jika ya dimana? Abadikah? Bagi saya ada yang lebih subtil dan profan daripada sekadar bekerja menabung untuk sesuatu hal yang tidak pasti. Berjaga-jaga untuk sebuah skenario terburuk seperti berpikiran buruk pada nasib. Seolah olah ingin berkata "Aku harus punya uang, siapa tahu Tuhan akan memberiku penyakit ganas yang membutuhkan banyak biaya," atau  "Aku harus punya uang, siapa tahu aku akan dipenjara karena kejahatan yang tak aku lakukan," bagi saya tak ada hal yang lebih konyol daripada takut pada hal yang belum tentu terjadi.

Saya akan menabung. Bukan karena ingin kaya. Tapi karena saya percaya Tuhan yang maha baik itu suka iseng memberikan cobaan yang barangkali bisa diatasi dengan uang. Siapa tahu Bapak saya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sebelum menjabat sebagai kepala di kepemerintahan, dengan uang saya akan bisa membebaskannya dengan menyewa pengacara handal, Pak Eggi Sudjana, misalnya. Siapa tahu anak saya nerobos jalan tol Jagorawi dan enam nyawa melayang sia-sia, dengan uang saya bisa membebaskan anak saya tanpa harus menginap di bui. Siapa tahu Presiden tercinta kita kurang tegas menangani Polri vs KPK karena ke kurangan oksigen dalam tubuhnya, kan dengan uang saya bisa membelikan tabung untuk beliau. Siapa tahu sodara saya yang Satpol PP itu merampas harta PKL karena bikin kumuh kan  dengan uang sehabis menggusur saya bisa belikan dia cendol . Uang punya manfaat praktis. Berbeda dengan filsafat dan sastra yang saya sukai.

Barangkali cita-cita dibikin bukan buat diwujudkan seperti mbak Cita Citata dengan lagu hitsnya "sakitnya tuh disini" atau "goyang dumang". Ia ada karena hanya sekedar pemuas ego narsis fasis manusia akan pencapaian dan dominasi. Atau bisa jadi ia adalah wajah lain ketakutan-ketakutan yang belum terjadi. Karl Gustav Jung menyebut hal ini sebagai anima. Sisi agresif manusia adalah sisi feminim. Sisi yang butuh dipuaskan, yang seringkali, tak perlu alasan mengapa ia harus dipuaskan. Cita-cita, keinginan, obsesi dan tujuan hidup. Barangkali tak terlalu rumit dari sajak Wiji Thukul tentang menonton harga.  

Ayo! Keluar kita keliling kota
Tak perlu ongkos tak perlu biaya
Masuk toko perbelanjaan tingkat lima
Tak beli apa - apa 
Lihat - lihat saja,"

Toh hidup yang hanya sekedar ingin tak akan pernah ada habisnya.!

Posting Komentar untuk "Cita-cita bukan Cita Citata"